Aku yang Diperkosa, Aku yang Disalahkan
____Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak-hak yang telah
dipunyai seseorang sejak ia dalam kandungan dan merupakan pemberian dari Tuhan.
Seperti yang dijabarkan dalam Piagam PBB
tentang HAM tanggal 10 Desember 1948 di Paris, manusia memiliki hak-hak dasar
yang tidak boleh dilanggar atau dirampas oleh pihak lain.
Dari ketigapuluh pasal dari piagam tersebut, hak-hak
itu antara lain seperti hak untuk penghidupan, kebebasan, dan keselamatan individu
(pasal 3), hak untuk tidak disiksa atau diperlakukan secara kejam, memperoleh
perlakuan atau dihukum secara tidak manusiawi atau direndahkan martabatnya
(pasal 5), dan lain-lain. Dari kedua pasal ini saja sudah jelas bahwa semua
individu, termasuk kaum perempuan, berhak untuk hidup dengan selamat dan tidak
boleh direndahkan martabatnya. Pemerkosaan yang ingin saya bahas tentunya sudah
menyalahi HAM karena melanggar kedua pasal tersebut. Sayangnya, kasus
pemerkosaan di Indonesia sering ditindaklanjuti dengan cara-cara yang justru merugikan
kaum perempuan.
Ambil saja satu kasus pada Ni (19 tahun), yang
diperkosa di rumah kontrakannya di Bojong Indah, Kecamatan Ciseeng, Bogor. Ia
sedang bersama putra kerabatnya yang berumur 1,5 tahun yang sedang ditinggal
orang tuanya bekerja. Pelaku pemerkosaan adalah Rizki (19 tahun), tetangga
kontrakan itu. Rizki mengikat tangan
Ni, mencekik, dan mengancam keduanya dengan pisau. Setelah kejadian itu, Ernawati (Ibu
Faj), melapor ke RT setempat dan malam itu juga, Ernawati
ingin melaporkan kejadian tersebut kepada polisi tetapi dicegah oleh
ketua RT dengan alasan malu dan meminta agar kejadian tersebut diselesaikan secara kekeluargaan. Sementara di pihak orang tua pelaku perkosaan mengajak
damai Ernawati dengan memberi ganti rugi, atau menikahkan pelaku dengan korban.
Dari kasus di atas bisa kita lihat
bahwa kebanyakan korban pemerkosaan tidak dianjurkan melapor dan malah disuruh
menikah dengan pelakunya demi menghindari malu. Perempuan yang sudah tidak suci
dianggap sebagai aib keluarga, bahkan yang lebih kejam korban dianggap wanita
genit karena keluar rumah dengan pakaian seksi atau sering keluar saat malam
hari. Sedangkan pria dianggap wajar karena tidak bisa menahan nafsunya.
Padahal, sebagian besar korban tidak dalam penampilan seksi saat diperkosa,
melainkan saat dia lengah dan ada kesempatan. Pandangan seperti ini disebabkan
karena adanya ketidaksetaraan gender, yaitu laki-laki dianggap boleh berkuasa
atas perempuan. Ditambah lagi dengan mitos yang berkembang dari jaman dulu
bahwa wanita adalah penggoda laki-laki, sama seperti saat Hawa menggoda Adam.
Ini adalah pandangan yang dangkal dan menyesatkan.
Hukum pun masih lemah dalam membela
perempuan. Diskriminasi undang-undang sangat terasa. Saat ini, kasus pemerkosaan
hanya dikategorikan sebagai kejahatan kesusilaan (kejahatan moral), ini
terkandung dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Padahal faktanya,
pemerkosaan adalah tindakan kriminal yang direncanakan. Para penegak hukum
seperti polisi saja saat menanyai korban terkesan menginterogasi dan
mengintimidasi seperti menanyakan pertanyaan seperti “sedang di mana”, “jam
berapa”, “berpakaian seperti apa”, yang meragukan dan menyudutkan korban. Lagi,
ini melanggar pasal 8 Piagam PBB yang berisi bahwa setiap orang berhak atas
bantuan yang efektif dari pengadilan nasional yang kompeten untuk tindakan
pelanggaran hak-hak dasar yang diberikan kepadanya oleh undang-undang dasar
atau hukum.
Dalam agama Katolik sendiri Gereja
menyatakan bahwa “manusia mempunyai jiwa berbudi dan diciptakan menurut citra
Allah, karena mempunyai kodrat dan asal yang sama, serta karena penebusan
Kristus, mempunyai panggilan dan tujuan ilahi yang sama, maka kesamaan asasi
antara manusia harus senantiasa diakui” dan “… kita harus menyingkirkan segala
macam diskriminasi yang mempengaruhi hak-hak dasar … karena berlawanan dengan maksud Allah” (GS
art 29). Dalam ensiklik ini Gereja menyatakan kesamaan derajat antarmanusia,
yang dijelaskan juga dalam Galatia 3:28: “Tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau
orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, tetapi semua adalah satu di
dalam Kristus Yesus.”
Gereja dengan tegas menentang segala
bentuk pelanggaran HAM dalam bentuk apapun dan kepada siapapun, karena manusia,
laki-laki maupun perempuan mempunya martabat dan kodrat yang sama karena
diciptakan oleh Allah sesuai dengan gambar dan citra-Nya. Tidak hanya
pemerkosaan, tetapi pelanggaran HAM lain terhadap perempuan seperti, pelecehan
seksual, prostitusi paksa, perbudakan, penganiayaan, dan sebagainya juga
melanggar hak-hak manusia secara umum.
Penegakan HAM harus terus dilakukan
dan diperjuangkan. Saya sebagai siswa dan seorang perempuan, merasa bahwa
mengetahui dan mempelajari HAM itu penting demi menjaga diri dan memperjuangkan
HAM itu sendiri. Mungkin dalam kasus pemerkosaan saya tidak bisa bertindak
jauh, namun sebagai siswa, menyebarluaskan keprihatinan saya ke orang-orang
terdekat mungkin dapat menyadarkan beberapa orang bahwa penegakan HAM di
Indonesia saat ini masih lemah. Saat ini pun saya menggunakan hak asasi saya
untuk menyatakan pendapat saya secara bebas melalu media tulis. Berjuang untuk
hidup secara berkualitas pun salah satu cara menegakkan HAM. Karena hak-hak
asasi adalah hak yang sebenarnya semua orang sudah memilikinya, hanya saja
tidak semua orang yang menghargainya. Menurut saya, upaya yang paling efektif
dalam memperjuangkan HAM adalah dengan menghargai HAM itu sendiri. Andai semua
orang menghargai HAM, pasti minim sekali pelanggaran hak yang terjadi.
Sumber:
Artikel ini ditulis untuk tugas sekolah pelajaran Agama
kelas 11, dengan tema pelanggaran HAM dalam pandangan
Gereja Katolik.
Label: agama, artikel, sekolah