Rhymaspace
Hi, I'm Theresia Rima.
An Indonesian student, dancer, fangirl, and art lover. Feel free to contact me :)

Big claps and credits for the basecode beningsann, and the editor Ndot, the template is superblue. Enjoy! Don't forget to follow ^^
Aku yang Diperkosa, Aku yang Disalahkan
Jumat, 16 Oktober 2015 | 10/16/2015 | 0 Sista/Bro


____Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak-hak yang telah dipunyai seseorang sejak ia dalam kandungan dan merupakan pemberian dari Tuhan. Seperti yang  dijabarkan dalam Piagam PBB tentang HAM tanggal 10 Desember 1948 di Paris, manusia memiliki hak-hak dasar yang tidak boleh dilanggar atau dirampas oleh pihak lain.
Dari ketigapuluh pasal dari piagam tersebut, hak-hak itu antara lain seperti hak untuk penghidupan, kebebasan, dan keselamatan individu (pasal 3), hak untuk tidak disiksa atau diperlakukan secara kejam, memperoleh perlakuan atau dihukum secara tidak manusiawi atau direndahkan martabatnya (pasal 5), dan lain-lain. Dari kedua pasal ini saja sudah jelas bahwa semua individu, termasuk kaum perempuan, berhak untuk hidup dengan selamat dan tidak boleh direndahkan martabatnya. Pemerkosaan yang ingin saya bahas tentunya sudah menyalahi HAM karena melanggar kedua pasal tersebut. Sayangnya, kasus pemerkosaan di Indonesia sering ditindaklanjuti dengan cara-cara yang justru merugikan kaum perempuan.
Ambil saja satu kasus pada Ni (19 tahun), yang diperkosa di rumah kontrakannya di Bojong Indah, Kecamatan Ciseeng, Bogor. Ia sedang bersama putra kerabatnya yang berumur 1,5 tahun yang sedang ditinggal orang tuanya bekerja. Pelaku pemerkosaan adalah Rizki (19 tahun), tetangga kontrakan itu. Rizki mengikat tangan Ni, mencekik, dan mengancam keduanya dengan pisau. Setelah kejadian itu, Ernawati (Ibu Faj), melapor ke RT setempat dan malam itu juga, Ernawati ingin melaporkan kejadian tersebut kepada polisi tetapi dicegah oleh ketua RT dengan alasan malu dan meminta agar kejadian tersebut diselesaikan secara kekeluargaan. Sementara di pihak orang tua pelaku perkosaan mengajak damai Ernawati dengan memberi ganti rugi, atau menikahkan pelaku dengan korban.
Dari kasus di atas bisa kita lihat bahwa kebanyakan korban pemerkosaan tidak dianjurkan melapor dan malah disuruh menikah dengan pelakunya demi menghindari malu. Perempuan yang sudah tidak suci dianggap sebagai aib keluarga, bahkan yang lebih kejam korban dianggap wanita genit karena keluar rumah dengan pakaian seksi atau sering keluar saat malam hari. Sedangkan pria dianggap wajar karena tidak bisa menahan nafsunya. Padahal, sebagian besar korban tidak dalam penampilan seksi saat diperkosa, melainkan saat dia lengah dan ada kesempatan. Pandangan seperti ini disebabkan karena adanya ketidaksetaraan gender, yaitu laki-laki dianggap boleh berkuasa atas perempuan. Ditambah lagi dengan mitos yang berkembang dari jaman dulu bahwa wanita adalah penggoda laki-laki, sama seperti saat Hawa menggoda Adam. Ini adalah pandangan yang dangkal dan menyesatkan.
Hukum pun masih lemah dalam membela perempuan. Diskriminasi undang-undang sangat terasa. Saat ini, kasus pemerkosaan hanya dikategorikan sebagai kejahatan kesusilaan (kejahatan moral), ini terkandung dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Padahal faktanya, pemerkosaan adalah tindakan kriminal yang direncanakan. Para penegak hukum seperti polisi saja saat menanyai korban terkesan menginterogasi dan mengintimidasi seperti menanyakan pertanyaan seperti “sedang di mana”, “jam berapa”, “berpakaian seperti apa”, yang meragukan dan menyudutkan korban. Lagi, ini melanggar pasal 8 Piagam PBB yang berisi bahwa setiap orang berhak atas bantuan yang efektif dari pengadilan nasional yang kompeten untuk tindakan pelanggaran hak-hak dasar yang diberikan kepadanya oleh undang-undang dasar atau hukum.
Dalam agama Katolik sendiri Gereja menyatakan bahwa “manusia mempunyai jiwa berbudi dan diciptakan menurut citra Allah, karena mempunyai kodrat dan asal yang sama, serta karena penebusan Kristus, mempunyai panggilan dan tujuan ilahi yang sama, maka kesamaan asasi antara manusia harus senantiasa diakui” dan “… kita harus menyingkirkan segala macam diskriminasi yang mempengaruhi hak-hak dasar  … karena berlawanan dengan maksud Allah” (GS art 29). Dalam ensiklik ini Gereja menyatakan kesamaan derajat antarmanusia, yang dijelaskan juga dalam Galatia 3:28:Tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, tetapi semua adalah satu di dalam Kristus Yesus.”
Gereja dengan tegas menentang segala bentuk pelanggaran HAM dalam bentuk apapun dan kepada siapapun, karena manusia, laki-laki maupun perempuan mempunya martabat dan kodrat yang sama karena diciptakan oleh Allah sesuai dengan gambar dan citra-Nya. Tidak hanya pemerkosaan, tetapi pelanggaran HAM lain terhadap perempuan seperti, pelecehan seksual, prostitusi paksa, perbudakan, penganiayaan, dan sebagainya juga melanggar hak-hak manusia secara umum.
Penegakan HAM harus terus dilakukan dan diperjuangkan. Saya sebagai siswa dan seorang perempuan, merasa bahwa mengetahui dan mempelajari HAM itu penting demi menjaga diri dan memperjuangkan HAM itu sendiri. Mungkin dalam kasus pemerkosaan saya tidak bisa bertindak jauh, namun sebagai siswa, menyebarluaskan keprihatinan saya ke orang-orang terdekat mungkin dapat menyadarkan beberapa orang bahwa penegakan HAM di Indonesia saat ini masih lemah. Saat ini pun saya menggunakan hak asasi saya untuk menyatakan pendapat saya secara bebas melalu media tulis. Berjuang untuk hidup secara berkualitas pun salah satu cara menegakkan HAM. Karena hak-hak asasi adalah hak yang sebenarnya semua orang sudah memilikinya, hanya saja tidak semua orang yang menghargainya. Menurut saya, upaya yang paling efektif dalam memperjuangkan HAM adalah dengan menghargai HAM itu sendiri. Andai semua orang menghargai HAM, pasti minim sekali pelanggaran hak yang terjadi.

Sumber:

Artikel ini ditulis untuk tugas sekolah pelajaran Agama kelas 11, dengan tema pelanggaran HAM dalam pandangan Gereja Katolik.


Label: , ,